Gambar: Ilustrasi Konseling Anak. Sumber: https://www.dealdistrictscouts.org.uk/ |
A. Pendahuluan
Setiap orang tua yang memiliki anak pasti merindukan masa di mana anak-anak mereka memulai tahap perubahan perjalanan hidup yang baru melalui pendidikan di sekolah. Kerinduan akan masa ini adalah saat anak usia dini, 4-6 tahun, menginjakkan kaki-kaki mungil mereka di Kelompok Bermain atau Taman Kanak-Kanak. Hidup anak yang selama ini terbiasa dengan lingkungan rumah, bercengkrama, bercanda dan berkomunikasi hanya dengan orang tua dan keluarga terdekat, setapak demi setapak mulai berevolusi mencoba mengenali lingkungan barunya dengan bertemu orang-orang baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Sejumlah ibu guru baru dengan senyuman yang selalu ramah padanya dan anak – anak sebayanya yang baru. Pada tahapan ini, anak mulai mengenal dan mengalami perubahan. Perubahan paling menonjol adalah kedisiplinan. Disiplin paling awal yang mendatanginya yakni kebiasaan rutinitas pagi. Anak mulai belajar bangun pagi, sarapan, mandi, mengenakan pakaian dan sebagainya. Semua ini aktivitas anak kategori tepat waktu. Selanjutnya berpakaian, jika selama ini terbiasa dengan pakaian bebas rumahan, dia mulai diajak untuk mengenakan pakaian seragam yang bervariasi pada hari-hari tertentu sesuai ketentuan dari pihak sekolah.
Pada hari – hari awal memasuki suasana perubahan yang baru ini, anak sangat semangat. Bahkan seringkali anak yang membangunkan orang tua dan mengajak ayah / ibunya untuk segera mengantarnya ke sekolah. Tambahan pula, karena saking semangatnya, anak meminta orang tua cukup mengantar dia hingga gerbang sekolah, tak perlu orang tua menunggunya di ruang belajar atau di halaman sekolah. Dia berani menjalaninya sendiri. Sebuah dorongan semangat yang luar biasa.
Namun seiring perjalanan waktu, oleh karena semakin bervariasinya perubahan hidup yang dialami anak di lingkungan sekolah sebagai lingkungan barunya setiap hari, maka lambat laun anak mulai mengalami perubahan kepribadian, sikap dan tingkah lakunya. Perubahan tersebut akan nampak jelas karena hampir semua orang tua berinteraksi langsung dengan anak di pagi hari dan memastikan bahwa anak akan berangkat ke sekolah atau malah mengantarnya ke sekolah. Namun, orang tua malah menemukan anak mulai malas-malasan berangkat ke sekolah atau lebih parah lagi dia justru menolak atau mogok sekolah. Malas bangun pagi, malas sarapan, malas mandi, mulai membuat alasan-alasan sebagai benteng perlindungan agar diijinkan tinggal di rumah. Alasan –alasan yang diargumentasikan anak pun kadang bernada lucu dan ekstrim, seperti mengatakan: ada hantu di sekolah, saya ketemu alien, berdoanya lama, saya dipukul teman, saya ditertawai teman, bapak melepaskan tangan saya, bapak tidak antar saya masuk kelas, makanan di sekolah masam, dan masih banyak lagi.. Serangkaian pernyataan ini merupakan gambaran adanya kondisi di mana anak trauma melangkahkan kaki ke sekolah. Perubahan – perubahan ini turut membuat orang tua kebingungan, kadang tersulut emosi, sehingga orang tua mulai berkeja keras membujuk anak agar mau berangkat ke sekolah.
Mulai timbulnya tanda-tanda yang menujukkan ketidak-tertarikan anak pada sekolah, memicu kebanyakan orang tua akan memaksa anak dengan memarahi dan menghukumnya, atau memberinya kelonggaran dan membiarkan anak tidak pergi ke sekolah. Akan tetapi ini bukanlah jalan terbaik. Harus diingat dan wajib hati-hati, baik memaksa atau membiarkannya bisa sama-sama menjadi ‘senjata makan tuan’ bagi orang tua sendiri dan tentunya bagi tumbuh kembang anak. Melalui tindakan memaksa (forcing) dan menghukum (punishing) anak untuk mau berangkat sekolah, orang tua hanya akan menciptakan ‘octagon untuk medan perang’, dimana orang tua dan anak akan saling bertempur untuk menjadi seorang pemenang. Pertempuran apapun namanya tentu akan memakan banyak korban di kedua belah pihak. [1]Dibanding marah, mengomel yang ber-aura negatif dan membuat semua orang yang terlibat juga terseret arus negatif. Anda hanya akan diperas oleh keadaan, menguras energi, keringat dan air mata dan sebetulnya Anda hanya diam ditempat tanpa menghasilkan apa-apa.” Berfikir sebaliknya, berharap dengan membiarkannya berlaku sesuai keinginannya akan menjadikannya lebih baik. Hasilnya tidak jauh lebih baik malah mungkin lebih buruk. Anak kemungkinan besar akan kembali mengulangi aksi ‘mogok sekolah’ dan bisa jadi semakin hari semakin menjadi. Jika dilanjutkan bisa-bisa keadaanya menjadi terbalik. Orang tua yang seharusnya menjadi kontrol, pembina, pembimbing anak, justru menjadi tunduk pada keinginan anak.
Beragam cara dan upaya dilakukan orang tua agar anaknya kembali ke sekolah. Mulai dari bertanya penyebabnya ke anak secara langsung, konsultasi ke wali kelas dan guru-gurunya hingga bertanya ke teman-teman sekelasnya. Pada akhirnya cara dan upaya tersebut tidak membuahkan hasil optimal, sehingga diperlukan tindakan baru melalui pendekatan konseling terhadap anak. Dalam pendekatan ini diperlukan pemahaman dan analisis terhadap penyebab perubahan sikap dan perilaku anak agar ditemukan solusi penyelesaiannya.
B. Diversitas dan Lingkungan Baru
Memasuki sebuah lingkungan baru, tentunya akan membawa variasi rasa. Rasa tersebut bisa sama seperti rasa Nano-Nano yang manis, asem, asin yang disimpulkan bahwa rame rasanya. Rasanya ramai karena keanekaragaman individu yang berkumpul dalam satu lingkungan. Keanekaragaman dan wujud nyat perbedaan ini antara lain: [2]perbedaan ras/etnis, bahasa, tingkatan ekonomi, agama, daerah asal, pengetahuan, kesehatan, jenis kelamin, dan umur.
Seperti halnya anak usia dini yang masuk TK, mereka akan mengalami hidup bersama keberagaman. Mereka akan senantiasa bertemu orang-orang berbeda dalam satu hari pendidikannya di sekolah. Anak akan berinteraksi dengan teman sebayanya yang berbeda gaya bicara, tingkah laku, pola makan, hingga tabiat dan watak. Anak membangun pergaulan dengan anak sebayanya dari berbagai latar belakang, menikmati menu bekal masing – masing yang bervariasi, bahkan menikmati tingkah laku lucunya yang hampir tiap hari hadir.
C. Masa Transisi Budaya Anak ke Budaya Sekolah
Transisi adalah peralihan dari satu keadaan, tindakan, kondisi, dan tempat ke keadaan, tindakan, kondisi, dan tempat yang lain.[3] Dengan kata lain transisi adalah proses sedang terjadinya pergantian situasi dan kondisi dari yang sudah melekat dalam diri ke situasi dan kondisi baru yang belum dikenali oleh diri.
Masa transisi adalah masa perpindahan dan peralihan. Jika dikaitkan dengan perubahan sosial kehidupan anak, masa transisi adalah suatu masa di mana seorang anak berada dalam proses peralihan dari kebiasaan, pola hidup, pola interaksi dan situasi lama ke kebiasaan, pola hidup, pola interaksi, dan situasi baru, atau masa peralihan dari pola perilaku yang lama ke pola perilaku yang baru. Pada masa ini, anak mengalami krisis dalam kehidupannya, sehingga pada kondisi ini akan memicu terciptanya ketegangan-ketegangan tertentu bagi anak yang tidak siap menerima perubahan yang ditemui dan dialaminya. Secara khusus anak yang memasuki lingkungan baru di sekolah, dia akan mengalami masa ini.
Selanjutnya mari pahami terlebih dulu tentang budaya. Budaya adalah sesuatu yang terkait dengan kebiasaan seseorang atau kelompok yang meliputi kepercayaan, tradisi, perilaku, cara hidup, dsbnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya anak adalah kebiasaan-kebiasaan dari seorang anak dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi cara bermain, mudah menangis, gampang emosional, malas makan, susah tidur, dll. Sementara budaya sekolah adalah kebiasaan yang terbangun dalam sebuah sekolah yang tertuang dalam tata tertib sekolah. Budaya sekolah yang baik meliputi: menghargai diri sendiri (regarding self), menghargai orang lain (relation to others), menghargai lingkungan dan keindahan (relation to nature & the sublime), menghargai kelompok dan komunitas (relation to group& society)[4].
Pada masa peralihan budaya anak ke budaya sekolah, menimbulkan ketegangan-ketegangan emosional antara anak dengan orang tua, anak dengan guru, dan anak dengan sebayanya atau teman-teman sekelasnya. Ketegangan emosi anak dengan orang tua pada masa transisi ini ditandai dengan seringnya anak berselisih paham dengan orang tua yang mengajaknya ke sekolah tiap pagi, anak selalu membuat alasan yang dipercayanya akan membuat orang tua memintanya tinggal di rumah, namun orang tua justru terbangun emosinya karena harus memaksa anak ke sekolah namun anak eggan. Seringkali orang tua merasa putus asa bilamana anak bersikukuh tak mau ke sekolah. Selanjutnya, ketegangan antara anak dengan gurunya adalah ketika anak tiba di sekolah, walaupun diantar orang tuanya, anak cenderung tidak mau melangkahkan kaki ke dalam halaman sekolah atau masuk kelas, bahkan sering ingin putar balik kembali ke rumah ketika menjumpai gurunya, anak harus ditarik atau digendong orang tuanya sampai di depan pintu kelas, saat bertemu gurunya anak menangis tanpa alasan yang jelas. Selain itu anak mulai menantang gurunya dengan tidak mau membalas sapaan gurunya, tidak mau memandang gurunya walaupun gurunya sudah tersenyum manis bahkan mencium anak tersebut. Sementara ketegangan antara anak dengan teman sekelasnya ditandai oleh tindakan agresif anak yang mudah meludahi, mudah memukul dan mudah marah kepada teman yang menyapanya, menyentuh dirinya atau merangkulnya. Bahkan masalah sepele seperti menyimpan tas di rak penyimpanan, kadang anak marah-marah ketika tempat tasnya telah terisi oleh tas temannya.
Pada masa ini anak pun akan mengalami masa separasi, yaitu masa ketika anak mencoba mempertahankan kebiasaan-kebiasaan atau budaya aslinya dan menghindari interaksi dengan teman-teman sekelasnya atau kelompok anak satu sekolahnya. Hal ini ditandai oleh seringnya anak duduk menyendiri baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Anak hanya mau berinteraksi dan mengikuti instruksi dari gurunya.
Di samping itu, anak juga mengalami masa segregasi yaitu masa yang terjadi ketika murid-murid dalam sebuah kelompok merasa dominan atas anak sehingga mereka menekan dan menginisiasi pemisahan kepada anak sebagai pendatang baru di sekolah. Hal ini nampak pada murid-murid dari kelas lain tingkatan kelas di atasnya sering bergerombol mengitari anak disertai kalimat atau ujaran yang bernada menakuti sehinggan membuat kepercayaan diri anak meredup bahkan menghilang yang berujung pada mulai ketakutannya anak pada kakak kelasnya.
Proses transisi budaya anak juga dipengaruhi oleh marjinalisasi, yaitu ketika anak tidak mampu beradaptasi di antara budaya yang dominan di sekelilingya. Hal ini menyebabkan anak tidak dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan dan interaksi sebagai mahkluk sosial di sekolahnya. Anak lebih dominan bertindak sebagai insan solitaire atau penyendiri.
Namun seiring perjalanan waktu, komunikasi intensif orang tua dengan anak, orang tua dengan guru, anak dengan gurunya bahkan komunikasi efektif antara anak, gurunya dengan teman sekelasnya dalam membangun suasana bersahabat dan menyenangkan dalam kelas setiap hari membuat ketegangan-ketegangan yang muncul selama ini akan berkurang dan anak akan mulai menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
D. Proses Adaptasi
Berkurangnya ketegangan diri anak dan mulainya anak menyesuaikan diri dalam lingkungan barunya menandai proses adaptasi anak mulai berjalan. Dalam masa ini, anak mengalami masa assimilasi yaitu ketika anak mencoba beradaptasi atau menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan baru di sekolahnya. Anak melibatkan diri dalam pembauran dua kebudayaan yang dimiliknya yang kemudian disertai dengan hilangnya ciri khas kebiasaan aslinya sehingga membentuk kebiasaann baru yang merupakan perpaduan antara budaya anak di rumah dengan budaya anak di sekolah, misalnya ketika di rumah anak jarang cium tangan orang tua, maka sejak masuk sekolah anak mulai terbiasa menciumorang tuanya bahkan orang dewasa yang bertemu dengannya.
Proses integrasi dialami anak di lingkungan sekolahnya ketika anak berproses dalam situasi di mana anak diterima oleh komunitas besar di sekolahnya sementara anak menganggap dirinya bahwa selama ini ia berada dalam komunitas kecil di rumahnya, yakni anak hanya bersama dengan ayah dan ibunya di rumah sebagai kelompok kecil. Nilai kebudayaan yang terdapat pada budaya lama anak di rumah atau asalnya tidak dipertahankan lagi secara utuh. Ketika anak memiliki banyak pengalaman yang menekan kebiasaan-kebiasaannya, pada akhirnya dia semakin berkurang keinginannya untuk mempertahankan budaya dan kebiasaan yang dimilikinya. Hal ini menuntunnya untuk makin menikmati tiap proses perubahan dalam hidup kesehariannya.
Kondisi ini dapat dikatakan sebagai bias dari cultural hybridity yaitu ketika anak melakukan kombinasi dalam menjalin hubungan komunikasi dan interaksi dengan orang-orang di sekolah, jadi sewaktu-waktu anak berasimilasi, lalu diwaktu yang lain melakukan integrasi, dan dapat melakukan separasi atau bahkan memilih untuk melakukan marjinalisasi untuk menemukan jati dirinya.
E. Mengatasi Trauma Anak
Membantu seorang anak untuk mengatasi akibat dari suatu peristiwa yang membuat trauma menjadi salah satu tantangan terbesar sebagai orang tua. Cara menghilangkan trauma pada anak tidaklah mudah. Ada yang mengalami trauma ringan, namun juga ada anak yang merasakan bekasnya hingga seumur hidup. Dengan kata lain anak akan mengalami efek jangka panjang jika tidak mendapatkan bantuan yang tepat untuk mengatasinya, dan hal ini akan menjadi hambatan perkembangan anak.
Ketika anak sekolah mengalami suatu peristiwa yang membuatnya trauma, respon alami yang pertama dirasakan anak adalah mencari keamanan dan kenyamanan dari orang dewasa yang dekat dengannya. Orang dewasa yang paling penting bagi seorang anak adalah keluarga atau walinya, umumnya tentu saja orang tua. Orang tua dapat membantu membangun kembali rasa aman dan stabilitas bagi anak yang mengalami trauma sebagai cara menghilangkan trauma pada anak.
1. Ambil Inisiatif untuk Membicarakannya
Apabila anak tidak membicarakan tentang tragedi yang dialami, bukan berarti anak tidak memikirkannya. Entah peristiwa itu berlangsung nyata atau terjadi dalam mimpi anak. Mungkin saja anak merasakan ketidaknyamanan orang tuanya dan tidak ingin membuat orang tuanya kesal dengan membicarakan hal tersebut, bisa juga anak sendiri kewalahan dengan perasaan yang dialami. Tanpa infomasi akurat dan real, yang bisa terjadi hanyalah spekulasi, prasangka atau prejudice. Dalam kebanyakan kasus, khayalan dan pikiran seorang anak bisa lebih menakutkan daripada kenyataannya. Sehingga sebagai orang tua, harus menyempatkan untuk mengadakan pembicaraan dengan anak mengenai kejadian traumatis tersebut. “Trauma adalah sebuah luka yang mampu mengubah hidup seseorang dan lingkungannya.”[5]
2. Libatkan diri dan jadilah pendengar yang baik
Dalam mencoba menemukan indikator penyebab trauma anak, sebagai orang tua, harus melibatkan diri dan menjadi pendengar yang baik terhadap apa yang diutarakan anak. Karena pelibatan diri dan mendengarkan sebagai dua proses yang saling berkaitan.[6] Jika ingin melibatkan diri dengan anak, orang tua harus mendengarkan dan menyimak apa saja yang dikatakannya. Bahkan orang tua harus mempraktikkan perilaku-perilaku tertentu untuk membantu anak merasa nyaman dan dihargai. Namun dalam mempraktikkan perilaku-perilaku tersebut orang tua harus menjadi dirinya sendiri, bukan berakting dan bukan pula menghakimi atau justru menyalahkan. Biarkan anak mencurahkan tiap bagian krisis kehidupan yang dialaminya selama di sekolah. Biarkan akan melepaskan beban-beban yang meyedihkan hati, mencurahkan perasaan-perasaan, dan menyampaikan sesuatu yang mungkin sangat sulit atau tidak mungkin diungkapkannya kepada guru-gurunya di sekolah. Kita harus santai dan mendengarkan pembicaraan anak dengan seksama dan penuh perhatian.
3. Jauhkan Anak dari Tempat Kekerasan/Perundungan Terjadi
Sebagai orang tua, mungkin kita pernah menjumpai ‘aksi’ kekerasan di sekolah atau kejadian perundungan (bullying) di sekolah. Walaupun itu hanya sebatas satu pukulan tinju ke perut anak atau jitakan di kepala anak kita. Perundungan lewat hal-hal kecil, misalnya anak selalu mendapat ejekan karena tubuhnya kecil, kencing di celana, tidak membawa bekal, bekal tidak habis, atau sering mendapat hadiah tawa meriah ketika anak menangis karena diminta berdoa oleh gurunya. Kejadian – kejadian ini kelihatannya sepele namun cukup membuat anak mengalami kondisi trauma. Padahal sekolah sebenarnya merupakan rumah kedua bagi anak. Kondisi tersebut akan membuat anak mulai ketakutan ke sekolah. Sementara sekolah menjadi tempat yang dipercaya oleh orang tua untuk menitipkan anaknya. Dengan begitu, seharusnya sekolah adalah tempat beraktivitas yang aman bagi anak-anak sebagaimana di rumah. Namun, tidak jarang kita temui kasus kekerasan di sekolah. Ancaman kekerasan mungkin muncul dari teman-teman sebaya di sekitarnya.
Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau perundungan pada umumnya dapat mengalami trauma. Kondisi mental dan kejiwaan yang belum stabil membuat mereka lebih rentan terguncang begitu menghadapi kondisi yang menekan. Trauma yang dialami anak akan berdampak pada kondisi psikologisnya, di antaranya: perubahan suasana hati yang cepat, perilaku impulsif, ketakutan luar biasa, lekas marah, sikap agresif, serta perasaan cemas dan depresi.[7] Ini akan menghambat perkembangannya secara mental.
Ketika pada suatu waktu anak berada di tempat kejadian perkara, ini akan memicu ingatan-ingatan dia ketika tindakan kekerasan terjadi. Ini akan memperdalam trauma pada diri anak. Apabila tindakan kekerasan terjadi di sekolah atau tempat bermain atau bahkan di rumah ibadah, maka sebaiknya orang tua menghindari melalui tempat tersebut atau jika perlu tidak melanjutkan pendidikan anak di tempat tersebut.
4. Berikan Rasa Aman
Rasa aman ditunjukkan melalui perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua. Orang tua wajib selalu ada untuknya dan memberikan pengertian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan demikian, kecemasan pada diri anak dapat berkurang dan meredakan traumanya, bahkan anak merasa terlindungi dan mulai terbangun rasa percaya dirinya kembali.
5. Biarkan Anak tetap Bersosialisasi
Memberikan rasa aman bukan berarti ‘mengurung’ anak di rumah dan menghindarkannya dari bermain dengan teman sebayanya. Meskipun kadang sebagai orang tua biasa cemas bahwa kejadian serupa akan muncul, namun anak tidak boleh dibiarkan tidak bersosialisasi sama sekali. Itu justru akan menimbulkan rasa kesepian pada diri anak. Rasa kesepian berpotensi mengingatkan anak pada kejadian traumatis yang pernah dialaminya dan memperbesar ketakutannya. Upayakan agar anak dapat kembali ke ke dunia mereka, dimana mereka bisa bermain dan bergaul di bawah pengawasan penuh dari orang tua.
6. Alihkan Perhatian Anak dengan Kegiatan yang Positif
Anak yang mengalami trauma mendalam cenderung menunjukkan sikap menyendiri, murung, cemas, dan depresi. Anak seringkali tidak mau lepas dari sebelah orang tuanya atau genggaman tangan orang tuanya. Untuk menghindarkannya dari perasaan tertekan, anak perlu diajak melakukan kegiatan menyenangkan yang positif dan disukainya. Buat acara menyenangkan untuk lebih mengasah kemampuan motorik anak. Misalnya bermain bulutangkis, bernyanyi bersama, bersepeda, menulis abjad, mewarnai gambar, melukis, atau kegiatan lain selain hobi yang dapat memberinya kesibukan. Melakukan kegiatan menggambar, mewarnai, menggunting atau melipat akan sangat membantu anak untuk melupakan traumanya dan bisa memicunya untuk mulai belajar lebih baik di sekolah. Selain meningkatkan kedekatan orang tua dan anak, kegiatan ini juga mampu mengasah kreativitas si anak.
Dengan demikian, pikiran negatif dan memori traumatis dapat teralihkan pada kegiatan-kegiatan tersebut.
7. Terus Berikan Dukungan kepada Anak
Pernah mengalami tindakan kekerasan dan perundungan terhadap anak tidak hanya menimbulkan tekanan kepadnya, tetapi juga kepada orang tuanya. Mengetahui buah hati mengalami masalah pelik atau bahkan menjadi korban tentu saja hati terasa teriris dan emosi. Namun, sebaga iorang tua yang bijak, kita tidak boleh larut dalam kesedihan dan penyesalan, itu akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Karena anak pun akan mampu membaca kondisi orang tuanya lewat pandangan matanya dan pandangan jiwanya lewat hubungan bathin. Melihat orang tuanya tertekan, anak juga akan ikut tertekan dan justru terlarut dalam traumanya.
Anak yang mengalami trauma justru membutuhkan dukungan dan semangat positif dari lingkungannya, terutama dari orang tua. Untuk itu, jangan merasa sedih berkepanjangan dan tetaplah optimis bahwa ke depannya akan baik-baik saja. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk mendukung dan membantu anak dalam mengembangkan rasa optimis dalam menghadapi masa depan.[8] Trauma bukan hal yang perlu diratapi, melainkan harus dihadapi. Dengan melewati rasa sakit dan ketakutan, seseorang dapat bergerak dan melangkah maju, lambat laun anak akan mulai mengenali diri kembali secara utuh, terlebih memahami situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya yang akan memampukan anak untuk bertumbuh dan berkembang dengan percaya diri. Dengan demikian sebagai orang tua, kita harus senantiasa siap untuk membantu anak kita dalam melangkah menghadapi masa depannya.
8. Berdiskusi dan Menjadi Pembicara yang Menyenangkan
Mengajak anak berdiskusi untuk mengidentifikasi masalah yang tengah dihadapi bisa dicoba. Dengan berdiskusi, diharapkan anak bisa jujur dengan masalah yang tengah dihadapinya dan menjadi penyebab trauma dan menolak pergi ke sekolah. Setelah mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, orang tua bersama anak bisa mencari jalan keluarnya. Diskusi dengan anak bisa dilakukan dengan cara yang santai, saat sedang mengendarai motor, saat ia sedang menonton film kartun favoritnya di TV atau saat bermain di rumah. Orang tua pun juga harus sabar dan tak perlu berdebat saat berdiskusi, dengarkan dulu penjelasan anak, selanjutnya dicari solusinya bersama-sama.
Di samping itu, orang tua harus rajin membangun komunikasi yang baik dengan anak. Sehingga anak bisa memiliki kemampuan komunikasi yang baik, memiliki kemampuan mengeluarkan pendapat dan keberanian bertanya pada guru maupun rekan-rekan sebayanya. Dalam proses diskusi ini, penting juga mengajari anak bahasa Indonesia yang baik dan benar, agar ketika disekolah mereka bisa lancar berkomunikasi dan tterhindar dari kesalahan-kesalahan kecil yang bisa membuatnya mengalami perundungan kecil yang memicu traumanya kembali.
9. Berikan Motivasi
Mengenalkan sekolah sedini mungkin akan membantu anak untuk mempersiapkan dirinya mengecap pendidikan formal. Sejak awal anak telah diberi kesempatan untuk menentukan sekolahnya, maka pada masa tersulitnya di sekolah, anak perlu diberi kesempatan untuk membicarakan hal-hal menyenangkan yang dialaminya di sekolah. Ketika dia membicarakan berbagai macam pengalaman menyenangkan di sekolahnya, secara tidak langsung kita memberi motivasi kepadanya lewat perkataannya sendiri. Hal ini sangat wajar dan penting, mengingat anaklah yang akan menghabiskan banyak waktu selama bertahun-tahun di sekolah. Kenyamanan hati dan jiwa menjadi poin penting yang harus selalu diperhatikan.
10. Ajarkan tentang Sekolah di Rumah
Kemampuan memahami merupakan kemampuan yang sangat penting. Bukan hanya saat duduk di bangku sekolah, keterampilan ini juga dibutuhkan di dunia kerja. Untuk melatih kemampuan memahami anak, orang tua dapat melakukan ilustrasi kegiatan sekolah di rumah bersama anak. Misalnya bermain peran bisa menjadi kegiatan seru bersama anak. Orang tua dapat berperan menjadi guru, dan anak berperan sebagai murid. Beri perintah yang sederhana dan bimbing anak untuk melakukannya. Anak dapat diminta untuk menulis huruf, mewarnai gambar atau melipat kertas. Lewat ilustrasi tersebut, anak akan mengabaikan trauma yang dialaminya dan kembali percaya bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan untuk dirinya.
Selanjutnya ketika anak telah memiliki keinginan untuk melangkahkan kakinya ke sekolah, jangan ragu untuk mulai mengenalkan konsekuensi sekolah. Begitu dia mulai sekolah lagi, akan ada beberapa perubahan sebagai konskuensinya. Dari mulai dia harus disiplin bangun pagi, mandi tepat waktu, hingga kapan dia harus berangkat sekolah agar tidak terlambat. Waktu bermain dan menonton TV juga akan menjadi berkurang. Ini adalah waktu yang tepat bagi anak untuk mulai diperkenalkan tentang pentingnya tanggung jawab.
11. Meminta Bantuan Psikolog untuk Psikoterapi
Sebagai orang tua, mungkin juga memerlukan pihak lain dalam mengatasi trauma anak. Salah satunya adalah dari psikolog. Tujuannya adalah agar dapat dilakukan bentuk penanggulangan yang tepat dan efisien. Dalam menangani masalah trauma, umumnya psikolog akan melakukan usaha penyembuhan dengan metode psikoterapi. Psikoterapi adalah sebuah upaya penyembuhan dengan metode wawancara atau tanya jawab terhadap anak. Dalam hal ini anak adalah konseli atau klien. Anak akan diajak untuk berbicara dan didorong untuk mengekspresikan perasaannya. Pada tahap yang lebih lanjut, anak juga diarahkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi ke ranah yang lebih positif. Di sini, tidak hanya anak yang diajak untuk bicara, tetapi juga orang tuanya, baik wawancara bersama anak maupun terpisah. Orang tua juga diarahkan bagaimana mengatasi trauma anak.
12. Jalin Kerjasama
Sekiranya banyak proses telah dijalani namun anak tetap tak mau ke sekolah, bahkan sampai berminggu-minggu, maka sebaiknya segera menghubungi gurunya atau wali kelasnya. Anak tidak boleh terlalu lama mogok atau tidak masuk sekolah, karena tentunya ia akan ketinggalan pelajaran. Orang tua wajib menemui guru di sekolah dan membicarakan masalah yang tengah dihadapi si anak. Orang tua dan guru perlu mengatur waktu untuk bertemu dan mendiskusikan masalah anak, sehingga guru bisa memberikan solusi kepada orang tua untuk melakukan sejumlah tindakan yang terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak. Jika memungkinkan orang tua menjalin komunikasi dengan teman sekelasnya, karena biasanya teman sekelasnya akan jujur bercerita tentang apa yang pernah dialaminya. Jika memang penyebab anak tak mau sekolah berasal dari lingkungannya, yakni teman-temannya atau karena ia kesulitan menerima penjelasan salah satu guru, tentu gurunya atau wali kelasnya akan lebih paham mencari solusi dan menyelesaikan masalahnya.
F. Penutup
Mengalami kondisi di mana anak mengalami trauma ke sekolah tentu bukan hal yang mengenakkan hati dan hal yang lumrah saja. Namun kondisi ini sangat menguras energi dan emosi orang tua. Namun terlepas dari itu, sebagai orang tua harus bijak. Bijak dalam hal memahami tiap tahapan, fase atau masa perubahan kebiasaan anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Ketika orang tua memahami adanya proses peralihan budaya anak ke budaya barunya di sekolah, maka akan memudahkannya untuk menemukan solusi dan menyelesaikan trauma anak di sekolah.
G. Referensi
Sinagatullin, Ilghiz M. 2003. Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. Lanham, Maryland adn London: The Scarecrow Press Inc.
Geldard, Kathryn dan Geldard, David. 2001. Keterampilan Praktik Konseling. Yoyakarta: Pustaka Pelajar
Kathleen, J. Moroz. 2005. The Effects of Psychological Trauma on Children and Adolescents. Vermont: Agencies of Human Services.
https://defenisimenurutparaahli.com diakses 15/10/2019
http://bidanku.com, diakses 28/10/2019
https://dosenpsikologi.com ,diakses 29/10/2019
http://th.theasianparent.com diakses 30/10/2019
https://lesprivatbigbang.com diakses 1/11/2019
Catatan Kaki
[1] https://lesprivatbigbang.com diakses 1/11/2019
[2] Ilghiz M. Sinagatullin. 2003. Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. Lanham, Maryland adn London: The Scarecrow Press Inc., hal. 5-38
[3] https://defenisimenurutparaahli.com diakses 15/10/2019
[4] http://th.theasianparent.com diakses 30/10/2019
[5] https://dosenpsikologi.com, diakses 29/10/2019
[6] Kathryn Geldard dan David Geldard. 2001. Keterampilan Praktik Konseling. Yoyakarta: Pustaka Pelajar
[7] J. Moroz, Kathleen. 2005. The Effects of Psychological Trauma on Children and Adolescents. Vermont: Agencies of Human Services.
lakukan konseling jika ada problem
BalasHapus