Menulis, membaca, belajar, three in one. Saya memilih tidak menempatkan belajar pertama. Kalau dia yang pertama, kurang pas. Bisa berarti baru belajar mulai menulis. Intinya kita sudah bisa menulis sesuatu. Menulis huruf, angka, kata dan kalimat. Tapi menulis kan bukan sekedar tulis.
Kita menulis artinya memiliki suatu tujuan. Tujuan itu bisa sebagai sarana curhat. Ya, siapa tahu ada yang butuh. Butuh tempat curhat yang paling strategis. Selain itu paling nyaman untuk mencurahkan. Mencurahkan semua isi hati yang berserak. Berserakan karena tidak ada yang mengumpulkan.
Lewat menulis, yang berserakan bisa dikumpulkan. Saya katakan tempat menulis paling sabar. Silahkan marah, sedih, menangis, tertawa, dll. Ia akan selalu setia dalam penantian. Penantian kapan lagi yang curhat menulis. Ia tidak peduli berapa panjang tulisan. Justru ia senang jika tulisan berlanjut. Terus menerus hingga tak mampu lagi.
Ya, itulah menulis, tiada kata stop. Berhenti, itu artinya Anda sudah mati. Mati dalam ide karena tidak membaca. Supaya tidak mati, maka harus membaca. Dengan membaca kita akan mengenal dunia. Dan dunia mengenal kita ketika menulis.
Kata Omjay, jangan pelit membeli buku. Itu benar, menulis butuh asupan gizi. Susu balita, dibeli ketika belum habis. Ini dimaksudkan agar ada persediaan secepatnya. Stok habis, dan belum ada persediaan? Bisa menderita balitanya, kekurangan asupan gizi. Demikianpun halnya dengan menulis, butuh buku. Buku adalah asupan gizi kita menulis.
Kita membaca, itu artinya kita belajar. Belajar menambah ilmu, sekaligus belajar membaca. Kok belajar membaca, kan sudah bisa? Iya, sudah bisa, tapi selalu ngantuk. Baru membaca satu halaman, tidur mengundang. Kita semua mengalami fenomena membaca: mengantuk. Oleh karenanya, membaca harus kita pelajari.
Jadi, beli buku sambil belajar membaca. Inilah sebabnya belajar menempati kursi ketiga. Kursi ketiga menurut ukuran otak saya.
Ijinkan saya menulis lewat belajar membaca.
Luar biasa. M2B. Siap sy lakukan.
BalasHapus