Sabtu, 06 Juni 2020

Little Big Master


“Tekunlah belajar dalam keterbatasan karena suatu hari nanti Anda akan bertemu seorang guru yang menunjukkan jalan.”


Lui Wai Hung, ia seorang wanita cantik, anggun, berprofesi sebagai kepala sekolah merangkap guru. Memimpin sebuah TK dengan 500 murid dengan penghasilan $4.500 / per bulan. Ia pun dikenal sebagai kepala sekolah 4.500. Hampir semua halaman depan media cetak, selalu memuat wajahnya dengan deretan prestasi, penghargaan dan pengabdian. Ia benar-benar potret guru yang berhasil.

Namun, suatu hari ia mengambil sebuah keputusan besar dalam perjalanan karirnya. Ia meninggalkan kemewahan, prestasi dan penghasilan besar. Ia meninggalkan sekolah yang membesarkan namanya. Karena sebuah konflik internal dengan salah satu orang tua murid yang merupakan orang berpengaruh di sekolah itu. Ia memilih mundur dari Kepala sekolah ketimbang melakukan perlawanan terhadap sikap sekolah yang mengalah dari tekanan orang tua murid. Ia memilih sebuah TK di sebuah desa sebagai tempat pengabdian selanjutnya. TK tersebut hanya dihuni 5 murid. Semuanya perempuan. Menurut cerita warga sekitar, semua guru dan murid-murid lainnya telah meninggalkan TK tersebut.

Pemerintah desa pun telah mengambil keputusan. Jika tahun ajaran baru, tidak ada satupun orang tua mendaftarkan anaknya, maka TK tersebut akan ditutup. Bahkan ada sejumlah oknum yang bertaruh, bahwa TK tersebut akan ditutup sebelum tahun ajaran baru dimulai.

Hari pertama ia menginjakkan kakinya di sekolah baru. Suasananya sepi, tak ada seorang pun. Di depan pintu gerbang sekolah, hanya ada seorang perempuan setengah baya. Seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu, sambil berucap, “Bisa apa dia, tak akan ada lagi yang mau datang di sekolah.” Sementara di seberang jalan, sekelompok pria sedang menikmati makan mereka di sebuah warung kecil. Mereka juga mencibir, “Yakinlah, kepala sekolah baru itu tidak akan bertahan lama.” Seorang yang lain berujar, “Katanya dia kepala sekolah bergaji $4.500, dia kira sama di kota ya?”

Beberapa puluh menit, ibu kepala sekolah menunggu para murid di pinggir jalan depan gerbang sekolah. Sesekali ia menengok jam tangannya. Ia senantiasa tersenyum kepada ibu tukang sapu yang selalu memandangnya dengan pandangan aneh. Tak lupa ia melempar senyum ke sejumlah pria di warung seberang sana.

Ia menengok ke tikungan jalan di sana, belum ada yang datang. Selang beberapa lama, muncullah seorang bapak berpakaian lusuh mendorong sebuah gerobak berisi besi-besi tua. Di atasnya duduk seorang anak perempuan. Ibu kepala sekolah segera menyambut murid pertamanya hari itu dengan senyuman lebar di bibirnya, dan berkata, “Selamat pagi, saya kepala sekolah baru di sini”. Sambil menyapa sang bapak, ia memegang tangan muridnya. Sang bapak tanpa melihat dirinya, langsung putar arah dan berujar, “Maaf, saya harus buru-buru, banyak pekerjaan.”

Menunggu beberapa lama, datang kemudian seorang ibu mendorong sepeda yang ditunggangi seorang anak perempuan. Ibu itu kelihatan gelisah dan agak marah. “Selamat pagi, saya kepala sekolah baru di sini,” sapa ibu kepala sekolah. “Saya tidak peduli, tidak penting mengetahui siapa kepala sekolah,” balas si ibu sambil berlalu pergi tanpa senyum sedikitpun.

Murid ketiga datang diantar seorang ibu setengah muda, dengan tergesa-gesa. “Selamat pagi, saya kepala sekolah baru,” sapa ibu kepala sekolah lagi. “Iya, tapi saya harus buru-buru,” balas si ibu tadi. Dipandanginya ketiga murid barunya sambil memegang pundak mereka. Ia masih menunggu 2 murid lagi.

Tak lama kemudian sebuah sedan biru muncul. Ternyata itu angkutan sekolah di desa. Suara ribut-ribut di samping mobil saat berhenti. Seorang ibu dengan paras dan gaun sari menunjukkan ia orang India. Ia menuntun anak kembarnya, sambil memelas ke sopir, “Bisakah saya diberi diskon ongkos?” “Tidak bisa, tarif telah dinaikkan,” balas si sopir. “Selamat pagi ibu, saya kepala sekolah baru untuk mereka,”... lagi –lagi tidak mendapat respon. Si ibu segera berlalu. Sementara ibu tukang sapu di pinggir jalan berbicara sendiri, “Bisa apa dia di sekolah ini?”

Lengkaplah sudah muridnya kini. Jumlahnya 5 murid. Ada yang unik, mereka semua menggunakan masker. Satu persatu, murid dituntun ibu kepala sekolah menaiki puluhan anak tangga untuk sampai di halaman sekolah.

Mereka duduk melingkar dalam ruangan itu. Dengan senyum manisnya yang bersahabat, ibu kepala sekolah menyapa kelima muridnya. “Kenapa kalian mengenakan masker?”

Seorang murid berambut keriting menjawab, “Orang tua kami mengatakan bahwa, selalu gunakan masker saat ke sekolah. Jangan sampai orang lain tahu bahwa kalian anak-anak miskin. Jangan sampai kalian sakit hati karena diejek orang yang mengetahui kalian bersekolah di sini”

Ibu kepala sekolah termenung sesaat. Lalu menjawab, “Ibu juga pakai masker sekarang, apakah ibu cantik di balik masker ini?”

“Tidak”, sahut mereka serempak.
“Lihatlah, ibu lepaskan masker ibu, apa pendapat kalian, nak.”
“Ibu sangat cantik.”
“Baiklah, ibu akan mengabsen kalian satu-satu, saat ibu menyebut nama kalian, lepaskan masker kalian, dan lihat kalian pasti secantik ibu.”

Satu per satu nama murid disebut sambil melepaskan masker. Mereka semua tertawa. Anak-anak itu seolah melihat mentari baru. Senyum dan tawa mereka lepas. Mereka langsung akrab di hari pertama itu.

Jam pulang sekolah tiba. Para orang tua kelima anak itu datang menjemput di sekolah. Semuanya tergesa-gesa. Tanpa menyahut mereka mengambil anak mereka masing-masing. Ibu kepala sekolah senantiasa tersenyum kepada mereka walau tanpa balasan.

Wanita India yang memiliki anak kembar berkata, “Maaf ibu saya terlambat, saya harus jalan kaki dari rumah, bus sekolah tidak mau memberi kami tumpangan lagi karena kami tidak sanggup membayarnya.”

“Bukankah kita searah bu, baiklah saya mengantar ibu dan anak-anak pulang.”

***
Film ini merupakan sebuah kisah nyata yang menceritakan sebuah TK yang terbengkalai dan hampir ditutup. Mengisahkan seorang guru yang mendidik 5 muridnya dengan latar belakang kemiskinan, tanpa orang tua kandung, yatim piatu, broken home, dsbnya. 

Ibu guru sekaligus kepala sekolah, mengunjungi semua rumah muridnya untuk mengetahui latar belakang kehidupan mereka, berbincang dengan mereka, hingga akhirnya ia sukses memberi gambaran tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Sebuah pelajaran, alangkah pentingnya mengetahui penyebab anak tidak datang ke sekolah dengan mengunjungi mereka.

Walaupun ia sering dibully, namun ia sabar. Fokus mendidik kelima muridnya. Membangun mimpi para muridnya. Hingga ia diterima dengan sangat layak oleh para orang tua dan kepala desa. 

Perasaan penonton betul-betul dibawa ke dalam suasana film ini. Tidak ada luapan emosi meledak dalam film ini, namun perasaan penonton akan dibawa meresapi setiap lakon dan suasana yang ada. Hingga melewatkan rencana jalan-jalannya bersama sang suami ke berbagai negara. Bahkan ia jatuh sakit demi membangun TK itu kembali. 

Pada akhirnya, TK itu kembali dihuni 60 murid dalam waktu 5 tahun, hingga kini. Sebuah perjuangan seorang guru mengangkat derajat melalui pendidikan. 

Recommended.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Promo Buku

Promo Buku
Bisa pesan langsung ke Penerbit ANDI Offset atau lewat Penulis (Klik Gambar).

Personal Contact Information

E-mail: romapatandean@gmail.com
HP: 081355632823

About Me

Foto saya
Be proud of the imperfection. It is the true guide to the ultimate welfare of the soul.

YouTube Roma Patandean

Followers

Visitors

Free counters!

Update COVID-19 di Indonesia