Aksi Nyata - Budaya Positif
Budaya positif adalah satu aksi
yang perlu dilakukan oleh guru di satuan pendidikan, secara khusus dimulai di
dalam kelas. Budaya positif ini dilakukan lewat membangun keyakinan kelas,
memenuhi kebutuhan dasar murid, memenuhi kebutuhan dasar murid dan menerapkan
segitiga restitusi.
Membangun Keyakinan Kelas
Dalam modul 1.4 pendidikan guru
penggerak, budaya positif adalah setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan
di dalam kelas yang kemudian dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan
positif di kelas. Lingkungan positif ini tercipta manakala perilaku dan
tindakan tadi menjadi kebiasaan. Kemudian,
Agar terbentuk budaya positif di
kelas, maka pertama-tama guru dan murid perlu menciptakan dan menyepakati keyakinan-keyakinan
atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara guru dan murid di kelas.
Di sekolah saya, sebelum masuk
dalam pendidikan guru penggerak ini, saya telah mencoba membangun keyakinan di
kelas yang saya ajar. Misalnya di awal semester tahun ini, pada kelas 10 Bahasa
terdapat satu siswa dengan kategori berkebutuhan khusus. Anak ini adalah
seorang perempuan. Dia selalu tepat waktu sampai di sekolah dan tidak
pernah tidak datang. Ia tidak bisa
menulis di buku tulis, bahkan membuka halaman buku pun ia sangat kesulitan.
Mungkin ia memiliki kendala pada penglihatan atau kebutuhan khusus lainnya.
Mengetahui hal ini, saya meminta
kepada teman-temannya di kelas untuk memberikan tepuk tangan meriah ketika ia
menulis di papan tulis walaupun apa yang ia tulis tidak bisa dibaca sama
sekali. Mengapa ini saya minta? Agar ia bisa percaya diri dalam melakukan
kegiatan di kelas di tengah keterbatasannya. Saya juga meminta teman-temannya
untuk mendukung dia dengan cara memberikan catatan kepadanya untuk difoto copy
dan kemudian bisa dipelajari di rumah bersama ibunya.
Menurut saya, ini adalah sebuah
keyakinan di kelas dengan nilai tolong-menolong, berbagi dan saling menghargai
di kelas. Setiap kekurangan yang terjadi di kelas tidak perlu menjadi bahan
tertawaan teman-temannya. Hingga kini, ia selalu dibantu teman-temannya di
kelas ketika belajar. Dan saya simpulkan bahwa ia memang berkebutuhan khusus.
Pernah satu waktu ia tidak mampu
menyelesaikan latihan yang diberikan. Latihan sebanyak 4 nomor, ia hanya mampu
menyelesaikan satu nomor saja. Ketika ditawari untuk menyelesaikan di rumah ia
mengatakan tidak adil. Artinya, anak ini memang bertanggun jawab, namun
memiliki keterbelakangan/kebutuhan khusus yang membuatnya lambat dalam merespon
pembelajaran.
Memenuhi Kebutuhan Dasar Siswa
Sebagai calon guru penggerak,
saya perlu memahami bahwa setiap tindakan dari siswa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka. Saya juga harus memahami bahwa kebutuhan dasar setiap siswa akan
berbeda-beda dengan tujuan agar ia menjadi individu yang selamat dan bahagia, maka
kebutuhan dasar harus terpenuhi secara positif. Saya pun harus memahami bahwa
kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan cara positif atau negatif. Bahkan saya juga harus memahami
peran sebagai guru, yakni memberdayakan anak agar dapat memenuhi kebutuhannya
secara positif.
Di dalam kelas XII MIA 3,
terdapat seorang siswa berjenis kelamin pria yang memiliki talenta di musik dan
olahraga. Akan tetapi pada beberapa pelajaran ia kurang aktif sehingga ada
anggapan bahwa ia siswa yang sedikit malam. Namun, jika kegiatannya terkait
musik seperti gitar atau olahraga seperti bola bakset maka hatinya ada di sana.
Pada pelaksanaan mid semester
tahun ini, ia mengikuti ujian di lab bahasa. Saya saat itu menjadi pengawas
ruangnya. Ia tiba-tba mengatakan bahwa ia sedang tidak akur dengan bapaknya.
Saya bertanya, “Mengapa itu terjadi? Apakah ada masalah?” Ia membalas bahwa
bapaknya menginkan dia menjadi seorang dokter atau apoteker, namun ia sendiri
bercita-cita untuk menjadi seorang pendeta. Ini menjadi pergumulannya hingga
kini. Saya pun melanjutkan, apakah bermain gitar ada kaitannya dengan
cita-citanya? Ia menjawab ya. Bermain gitar adalah salah satu pelayanan di
gereja.
Di sini saya menyampaikan padanya
bahwa penting juga untuk memenuhi harapan orag tua. Saya sarankan padanya untuk
tetap mengikuti tes kedokteran atau apoteker nantinya sebagai bukti kepatuhan
pada orang tua, sambil ia tetap menjalankan aktifitasnya bermain gitar. Nah,
pada semester ini juga ada lomba FL2SN dari Kemdikbudristek. Ia terpilih
sebagai wakil sekolah. Ia sangat menikmatinya. Saya juga mendukungnya.
Kecintaannya pada musik adalah sarananya untuk memenuhi kebutuhan dirinya
secara positif.
Mengambil Posisi Kontrol yang Menuntun Siswa
Di kelas tentunya karakteristik
siswa beragam. Di kelas XII IPS 1 saya mendapati beberapi siswa pria yang unik.
Di kelas begitu aktif, saya tidak tahu apakah sama di bidang studi lainnya.
Anak ini tinggal di sekitar sekolah. Pada satu malam, sekitar pukul 11 malam
saya pulang dari sekolah. Saya singgah membeli seblak mercon di depan sekolah.
Saat itu saya pakai masker dan helm, jadi ia tidak mengenali saya. Ia sibuk
bermain game sambil merokok di depan saya. Saya mencolek temannya dan menunjuk
dia. Ia kaget melihat saya, dan menyahut, “Wih, pak guru!” Sontak ia membuang
rokoknya ke selokan. Saya tertawa dan berujar, “Teruskan saja nak, ini sudah di
luar sekolah. Jika kamu menikmati merokok, dan itu adalah kebutuhanmu,
nikmatilah, bapak tidak akan marah.” Namun, ia tidak melanjutkan merokok, ia
juga tidak kabur dari tempatnya. Kami lanjutkan berbincang sambil menunggu seblak mercon pesanan saya siap.
Saya melanjutkan, merokok bagi
setiap orang tentu memiliki alasan. Ia mengiyakan, dan saya menyambung, bahwa
ia adalah siswa, merokok tentu tidak sesuai dengan anjuran dan tata tertib di
sekolah. Terlebih merokok bisa merusak kesehatan.
Menerapkan Segitiga Restitusi
Pada satu kasus siswa saya di
kelas XII Bahasa, saya berbincang dengan satu siswa saya yang sering melakukan
pelanggaran di sekolah. Akibatnya ia sering mendapat poin pelanggaran dari
piket. Dua pelanggaran utamanya adalah datang terlambat di sekolah dan salah
memakai sepatu. Saya pun melanjutkan bahwa setiap siswa ernah melakukan hal
yang sama dan bukan hanya ia satu-satunya yang pernah melakukannya. Lalu, saya
bertanya mengapa ia salah menggunakan sepatu dan mendapatkan 5 poin pelanggaran.
Ia membalas bahwa saat itu ia kehujanan saat pulang sekolah sehari sebelumnya.
Sepatunya tidak kering dan ia memilih menggunakan sepatu lain. “Jika di lain
waktu itu terjaid lagi, apa yang akan kamu lakukan?” Ia membalas,”Saya akan
tetap menggunakan sepatu yang basah dan mencoba membeli sepatu yang dianjurkan lewat
OSIS di sekolah.” Terakhir saya bertanya padanya, “Apa kebaikan yang tercipta
jika semua temannya di kelas menggunakan sepatu yagn seragam?” Ia pun berujar, “Akan
tercipta keselarasan, kenyamanan dan kerapian pak.”
Saya menutup diskusi kami dengan
bertanya bagaimana perasaannya. Ia mengatakan bahwa ia merasa senang telah
berbagi cerita dengan saya dan ke depan ia akan berusaha untuk tidak melanggar
tata tertib sekolah demi keselarasan di kelas.
Penulis: Yulius Roma Patandean
(Calon Guru Penggerak Kabupaten Tana Toraja)