Kamis, 23 Desember 2021

Aksi Nyata - Budaya Positif

Aksi Nyata - Budaya Positif

 


Budaya positif adalah satu aksi yang perlu dilakukan oleh guru di satuan pendidikan, secara khusus dimulai di dalam kelas. Budaya positif ini dilakukan lewat membangun keyakinan kelas, memenuhi kebutuhan dasar murid, memenuhi kebutuhan dasar murid dan menerapkan segitiga restitusi.

Membangun Keyakinan Kelas

Dalam modul 1.4 pendidikan guru penggerak, budaya positif adalah setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan di dalam kelas yang kemudian dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif di kelas. Lingkungan positif ini tercipta manakala perilaku dan tindakan tadi menjadi kebiasaan. Kemudian,

Agar terbentuk budaya positif di kelas, maka pertama-tama guru dan murid perlu menciptakan dan menyepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara guru dan murid di kelas.

Di sekolah saya, sebelum masuk dalam pendidikan guru penggerak ini, saya telah mencoba membangun keyakinan di kelas yang saya ajar. Misalnya di awal semester tahun ini, pada kelas 10 Bahasa terdapat satu siswa dengan kategori berkebutuhan khusus. Anak ini adalah seorang perempuan. Dia selalu tepat waktu sampai di sekolah dan tidak pernah  tidak datang. Ia tidak bisa menulis di buku tulis, bahkan membuka halaman buku pun ia sangat kesulitan. Mungkin ia memiliki kendala pada penglihatan atau kebutuhan khusus lainnya.

Mengetahui hal ini, saya meminta kepada teman-temannya di kelas untuk memberikan tepuk tangan meriah ketika ia menulis di papan tulis walaupun apa yang ia tulis tidak bisa dibaca sama sekali. Mengapa ini saya minta? Agar ia bisa percaya diri dalam melakukan kegiatan di kelas di tengah keterbatasannya. Saya juga meminta teman-temannya untuk mendukung dia dengan cara memberikan catatan kepadanya untuk difoto copy dan kemudian bisa dipelajari di rumah bersama ibunya.

Menurut saya, ini adalah sebuah keyakinan di kelas dengan nilai tolong-menolong, berbagi dan saling menghargai di kelas. Setiap kekurangan yang terjadi di kelas tidak perlu menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Hingga kini, ia selalu dibantu teman-temannya di kelas ketika belajar. Dan saya simpulkan bahwa ia memang berkebutuhan khusus.

Pernah satu waktu ia tidak mampu menyelesaikan latihan yang diberikan. Latihan sebanyak 4 nomor, ia hanya mampu menyelesaikan satu nomor saja. Ketika ditawari untuk menyelesaikan di rumah ia mengatakan tidak adil. Artinya, anak ini memang bertanggun jawab, namun memiliki keterbelakangan/kebutuhan khusus yang membuatnya lambat dalam merespon pembelajaran.

Memenuhi Kebutuhan Dasar Siswa

Sebagai calon guru penggerak, saya perlu memahami bahwa setiap tindakan dari siswa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Saya juga harus memahami bahwa kebutuhan dasar setiap siswa akan berbeda-beda dengan tujuan agar ia menjadi individu yang selamat dan bahagia, maka kebutuhan dasar harus terpenuhi secara positif. Saya pun harus memahami bahwa kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan cara  positif atau negatif. Bahkan saya juga harus memahami peran sebagai guru, yakni memberdayakan anak agar dapat memenuhi kebutuhannya secara positif.

Di dalam kelas XII MIA 3, terdapat seorang siswa berjenis kelamin pria yang memiliki talenta di musik dan olahraga. Akan tetapi pada beberapa pelajaran ia kurang aktif sehingga ada anggapan bahwa ia siswa yang sedikit malam. Namun, jika kegiatannya terkait musik seperti gitar atau olahraga seperti bola bakset maka hatinya ada di sana.

Pada pelaksanaan mid semester tahun ini, ia mengikuti ujian di lab bahasa. Saya saat itu menjadi pengawas ruangnya. Ia tiba-tba mengatakan bahwa ia sedang tidak akur dengan bapaknya. Saya bertanya, “Mengapa itu terjadi? Apakah ada masalah?” Ia membalas bahwa bapaknya menginkan dia menjadi seorang dokter atau apoteker, namun ia sendiri bercita-cita untuk menjadi seorang pendeta. Ini menjadi pergumulannya hingga kini. Saya pun melanjutkan, apakah bermain gitar ada kaitannya dengan cita-citanya? Ia menjawab ya. Bermain gitar adalah salah satu pelayanan di gereja.



Di sini saya menyampaikan padanya bahwa penting juga untuk memenuhi harapan orag tua. Saya sarankan padanya untuk tetap mengikuti tes kedokteran atau apoteker nantinya sebagai bukti kepatuhan pada orang tua, sambil ia tetap menjalankan aktifitasnya bermain gitar. Nah, pada semester ini juga ada lomba FL2SN dari Kemdikbudristek. Ia terpilih sebagai wakil sekolah. Ia sangat menikmatinya. Saya juga mendukungnya. Kecintaannya pada musik adalah sarananya untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara positif.

Mengambil Posisi Kontrol yang Menuntun Siswa

Di kelas tentunya karakteristik siswa beragam. Di kelas XII IPS 1 saya mendapati beberapi siswa pria yang unik. Di kelas begitu aktif, saya tidak tahu apakah sama di bidang studi lainnya. Anak ini tinggal di sekitar sekolah. Pada satu malam, sekitar pukul 11 malam saya pulang dari sekolah. Saya singgah membeli seblak mercon di depan sekolah. Saat itu saya pakai masker dan helm, jadi ia tidak mengenali saya. Ia sibuk bermain game sambil merokok di depan saya. Saya mencolek temannya dan menunjuk dia. Ia kaget melihat saya, dan menyahut, “Wih, pak guru!” Sontak ia membuang rokoknya ke selokan. Saya tertawa dan berujar, “Teruskan saja nak, ini sudah di luar sekolah. Jika kamu menikmati merokok, dan itu adalah kebutuhanmu, nikmatilah, bapak tidak akan marah.” Namun, ia tidak melanjutkan merokok, ia juga tidak kabur dari tempatnya. Kami lanjutkan berbincang sambil  menunggu seblak mercon pesanan saya siap.

Saya melanjutkan, merokok bagi setiap orang tentu memiliki alasan. Ia mengiyakan, dan saya menyambung, bahwa ia adalah siswa, merokok tentu tidak sesuai dengan anjuran dan tata tertib di sekolah. Terlebih merokok bisa merusak kesehatan.

Menerapkan Segitiga Restitusi

Pada satu kasus siswa saya di kelas XII Bahasa, saya berbincang dengan satu siswa saya yang sering melakukan pelanggaran di sekolah. Akibatnya ia sering mendapat poin pelanggaran dari piket. Dua pelanggaran utamanya adalah datang terlambat di sekolah dan salah memakai sepatu. Saya pun melanjutkan bahwa setiap siswa ernah melakukan hal yang sama dan bukan hanya ia satu-satunya yang pernah melakukannya. Lalu, saya bertanya mengapa ia salah menggunakan sepatu dan mendapatkan 5 poin pelanggaran. Ia membalas bahwa saat itu ia kehujanan saat pulang sekolah sehari sebelumnya. Sepatunya tidak kering dan ia memilih menggunakan sepatu lain. “Jika di lain waktu itu terjaid lagi, apa yang akan kamu lakukan?” Ia membalas,”Saya akan tetap menggunakan sepatu yang basah dan mencoba membeli sepatu yang dianjurkan lewat OSIS di sekolah.” Terakhir saya bertanya padanya, “Apa kebaikan yang tercipta jika semua temannya di kelas menggunakan sepatu yagn seragam?” Ia pun berujar, “Akan tercipta keselarasan, kenyamanan dan kerapian pak.”

Saya menutup diskusi kami dengan bertanya bagaimana perasaannya. Ia mengatakan bahwa ia merasa senang telah berbagi cerita dengan saya dan ke depan ia akan berusaha untuk tidak melanggar tata tertib sekolah demi keselarasan di kelas.

Penulis: Yulius Roma Patandean (Calon Guru Penggerak Kabupaten Tana Toraja)


Share:
Lokasi: Makale, Tana Toraja Regency, South Sulawesi, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Promo Buku

Promo Buku
Bisa pesan langsung ke Penerbit ANDI Offset atau lewat Penulis (Klik Gambar).

Personal Contact Information

E-mail: romapatandean@gmail.com
HP: 081355632823

About Me

Foto saya
Be proud of the imperfection. It is the true guide to the ultimate welfare of the soul.

YouTube Roma Patandean

Followers

Visitors

Free counters!

Update COVID-19 di Indonesia