Sebuah catatan kecil tentang Reformasi oleh : Adian Napitupulu, SH.
Adian Napitupulu. Sumber Gambar: https://www.cnnindonesia.com/ |
1966 Gemuruh truk militer dan panser meraung, membelah jalan berdebu mengangkut mahasiswa untuk berdemonstrasi. Dalam rangkaian peristiwa dari zaman bergolak itu, Mahasiswa FK UI, Arief Rachman Hakim dan mahasiswa Unpar, Julius Usman tertembak dan meninggal dunia.
Tidak lama kemudian melalui ketetapan MPRS no XXIX tanggal 5 Juli 1966 Arif Rachman Hakim di tetapkan sebagai Pahlawan Ampera dan di kemudian hari menjadi salah satu nama jalan di Kota Depok. Sementara Julius Usman juga di tetapkan sebagai Pahlawan Ampera oleh Pangdam VI Siliwangi Mayjen H.R Dharsono lalu di makamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung, satu hamparan dengan Makam Ernest Douwes Dekker dan Kol A.E. Kawilarang. Selanjutnya nama Julius Usman di abadikan sebagai nama salah satu Jalan di Kota Malang.
12 Maret 1967 Soeharto dilantik menjadi Presiden dan ditahun yang sama sekitar 14 Aktivis Mahasiswa yaitu Slamet Sukirnanto, T Zulfadli, Fahmi Idris, Mar"ie Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sarjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar, Salam Sumangat dan Rahman Tolleng diangkat Soeharto menjadi anggota Parlemen (DPR GR) tanpa melalui pemilu.
Hampir di setiap periode Pemerintahan Soeharto aktivis 66 ada yang di tempatkan menjadi menteri, antara lain; Abdul Gafur (Menpora), Abdul Latief (Menaker), Cosmas Batubara (Menteri Perumahan Rakyat), Mar'ie Muhammad (Menteri Keuangan), Akbar Tanjung (Menpora), Fuad Bawazier (Menteri Keuangan). Selain diangkat menjadi anggota Parlemen dan Menteri, tidak sedikit juga aktivis 66 yang kemudian diangkat menjadi Duta Besar bahkan ada yang di beri kemudahan dan kesempatan menjadi pengusaha bahkan konglomerat.
Selama 33 tahun Soeharto berkuasa penanaman modal asing merajalela hampir tanpa batas, jutaan hektar lahan diberikan untuk kroni dan perusahaan asing melalui kontrak karya (Freeport, Inco, Rio Tinto dll) menjadi Tambang dan kebun sawit. Disisi lain Orde Baru mengistimewakan para Taipan dengan perlindungan, kemudahan dan fasilitas, seperti Liem Bian Koen, Liem Sioe Liong, Liem Hong Sien, Oei Ek Tjhong, Oei Hwie Tjhong, Cai Daoping, Tjoa To Hing, Oei Hwie Siang, Lie Moe Tie, Poo Tjie Gwan, Tjie Tjien Hoan, Li Bai La, Tjia Han Poen, Liem Yu Chan, Oei Suat Hong menjadi konglomerat yang menguasai ekonomi negara secara dominan hingga hari ini.
Kesewenangan, korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, pelanggaran HAM, monopoli ekonomi dan perampasan hak Rakyat mengisi hari hari Indonesia selama 33 tahun. Banyak peneliti menuliskan angka antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa manusia meninggal dalam rangkaian kekerasan Orde Baru. Jumlah konflik Agraria tercatat 1.753 kasus dengan luasan lebih dari 10 juta hektar dan korban hampir 1,2 juta KK.
Kampus di kepung panser, di bungkam, aktivis mahasiswa di kirim ke berbagai penjara termasuk nusakambangan, satu persatu setiap periode selalu ada aktivis mahasiswa, aktivis buruh, petani di tangkap, di culik bahkan di bunuh, ada Marsinah, ada Udin Bernas. Kebebasan informasi di kebiri, puluhan media termasuk Tempo, Sinar Harapan, Prioritas di breidel. Berbeda kata maka izin terbitnya dicabut seketika.
Pinjaman luar negeri dan Pasar bebas di setujui dan sebagai imbasnya Tenaga kerja asing secara bertahap memasuki Indonesia sebagai bagian dari kontrak investasi dari berbagai PMA.
Setelah berkali kali perlawanan mahasiswa di patahkan, Embrio Pembangkangan mahasiswa yang lebih besar mulai merebak di tahun 1996. Salah satunya adalah tragedi April Makasar Berdarah dengan 3 korban jiwa yaitu Syaiful Bya, Andi Sultan Iskandar dan Tasrif lalu tahun 1997 beruntun terjadi penculikan Mahasiswa dan Aktivis pemuda. Mereka diculik dan tidak pernah di kembali, diantaranya; Dedy Hamdun, Abdul Naser, Yani Afri, Sony, Nova Al Katiri, M Yusuf, Ismail, Petrus Bimo, Herman Hedrawan, Suyat, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yahdin Muhidin dan Leonardus Nugroho (jasadnya di temukan dengan luka tembak)
1998 Gemuruh truk militer dan panser kembali meraung membelah jalan berdebu, namun kali ini bukan untuk mengangkut dan mengawal mahasiswa berdemonstrasi melainkan untuk berhadapan dengan Mahasiswa. Dari 1998 hingga 1999 merupakan periode perlawanan mahasiswa yang bersimbah darah. Derap sepatu lars, suara kokangan senjata, letusan dan dentuman berbaur dengan orasi dan teriakan menjadi suara yang didengar setiap hari. Satu satu Mahasiswa gugur, di tembak mati di jalan tempat mereka sampaikan aspirasi, yaitu; Moses Gatotkaca (8 Mei 98), Hedriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan dan Herry Hartanto (Trisakti 12 Mei 98), kemudian Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo, Sigit Prasetyo, Teddy Wardani dan Bernardus Realino Norma serta satu pelajar Lukman Firdaus (Semanggi Satu, November 1998). Satu Mahasiswa UI, Yap Yun Hap ditembak mati di Semanggi 28 September 1999. Di hari yang sama dua mahasiswa Lampung juga meninggal dunia yaitu M Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria. Satu mahasiswa Palembang, Meyer Adriansyah meninggal pada tanggal 5 Oktober 1999.
Reformasi tidak Gratis, Reformasi dibayar tunai dengan darah dan nyawa puluhan mahasiswa dan aktivis (di luar dari ribuan lainnya yang luka dan cacat). Reformasi lahir dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu Mahasiswa.
Di atas seluruh pengorbanan itulah kebebasan dibuka, demokrasi dibangun dan Indonesia merangkai kembali harapan harapannya diatas kesetaraan tanpa diskriminasi.
Berikutnya puluhan partai baru berdiri, kebebasan Pers terbuka lebar, banyak organisasi buruh, tani dan organisasi Rakyat di deklarasikan, jabatan Presiden di batasi 2 periode. Pileg, Pilpres dan Pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung dan suara terbanyak. Pemimpin baru bermunculan, Polisi dan Tentara dipisahkan dari ABRI menjadi lebih profesional dalam tupoksi masing masing, Newmont dan Freeport kembali ke pangkuan bumi Pertiwi, kembali dimiliki bangsa sendiri.
Reformasi memang belum sempurna tapi pelan pelan buah buah Reformasi mulai tumbuh dan dinikmati banyak orang termasuk mereka yang menolak Reformasi, termasuk para pembenci Reformasi, bahkan juga dinikmati oleh mereka yang menembak, menculik, menyiksa dan membunuh mahasiswa.
Hari ini, setelah 22 tahun kemana para pejuang Reformasi itu? Aktivis 98 berbeda dengan aktivis 66. Jika aktivis 66 demonstrasi dalam rentang waktu 60 hingga 90 hari, kemudian menikmati jabatan dan kekuasaan selama 33 tahun, maka itu berbanding terbalik dengan aktivis 98 karena sejak 22 tahun lalu hingga hari ini tidak ada "hak hak istimewa" tidak ada "kemanjaan" tidak ada "kemudahan dan kesempatan lebih" yang di peroleh aktivis 98 seperti yang dulu pernah dinikmati aktivis 66.
Aktivis 98 adalah anomali dari sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya. Mereka tidak punya pemimpin tunggal, dominasi pergerakan tidak di monopoli kampus negeri, bergerak hampir di 27 Propinsi. Beberapa perbedaan besar antara aktivis 66 dan 98 antara lain adalah :
Aktivis 66 Berdemonstrasi dalam rentang waktu 60 hari hingga 90 hari.
Aktivis 98 Embrionya dimulai sejak 1996 dan mulai reda di tahun 2000 atau lebih dari 1300 hari.
Aktivis 66 mendapat dukungan Militer.
Aktivis 98 di represi oleh militer.
Aktivis 66 meninggal 2 orang.
Aktivis 98 meninggal lebih dari 30 orang.
Aktivis 66 meninggal 2 orang dan keduanya diberi gelar pahlawan lalu diabadikan jadi nama jalan.
Aktivis 98 dari 30 lebih yang meninggal tidak satupun di berikan gelar pahlawan dan tidak ada yang di abadikan menjadi nama jalan.
Aktivis 66 beberapa bulan setelah Soeharto dilantik sebagian di angkat menjadi anggota DPR tanpa melalui Pemilu.
Aktivis 98 sampai hari ini selama 22 tahun, sudah 5 Presiden tapi tidak ada aktivis 98 yang diangkat secara istimewa jadi anggota DPR tanpa Pemilu.
Aktivis 66 setiap periode pemerintahan Orde Baru selama 33 tahun selalu ada yang diangkat jadi menteri sebagai representasi ide yang diperjuangkan generasinya.
Aktivis 98 selama 22 tahun tidak ada yang menjadi menteri sebagai representasi ide generasi Reformasi.
Aktivis 66 diberi kemudahan dari negara untuk menjadi pengusaha dan membangun konglomerasi.
Aktivis 98 tidak mendapatkan kemudahan dari negara untuk menjadi pengusaha dan membangun konglomerasi.
Tulisan ini merupakan perbandingan sejarah dari dua generasi yang berbeda dalam banyak hal termasuk beda pilihan geraknya. Tulisan ini perbandingan dua generasi dengan segala kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses sejarah itu sendiri.
Memilih entah berkolaborasi, entah berkonspirasi atau berjalan sendiri dalam perjuangan akan memiliki konsekwensi nya masing masing. Apakah kelak menjadi yang di sayang atau mungkin menjadi yang di buang karena menjadi generasi yang tidak diinginkan. Apakah menjadi bagian dari kekuasaan dengan seluruh kewenangan dan kekayaan atau hidup dengan berselimut kesepian dipinggiran. Apakah menjadi "kuda tunggangan" dari cita cita orang lain atau menjadi tuan dari cita cita generasi itu sendiri.
Semua pilihan punya harga nya masing masing, harga yang harus di bayar entah sekarang atau kemudian.
Semoga para anak muda "pembangkang", pemuda pemudi yang "minim kesabaran" para pemuda/i "penjawab zaman" para pemuda/i "pengukir sejarah" bisa belajar dan memilih pola 66 atau pola 98 dengan segala kelemahan dan kekurangannya atau justru mampu mencari pilihan pola yang baru dan keluar dari pilihan dua generasi itu.
Karena biar bagaimanapun setiap generasi akan memiliki masalahnya sendiri, tantangannya sendiri, dan setiap generasi akan mencari jawaban serta jalan keluar dari masalah di zamannya. Setiap generasi akan melahirkan pejuang pejuang nya, pemimpin pemimpinnya dan mengukir sejarah nya sendiri.
Akhir kata, di tengah perbedaaan perbedaan antara kita, izinkan saya menyampaikan salam hormat untuk para senior aktivis 45, 66, 74, 78, 80 an, salam hormat untuk semua aktivis 98 dimanapun berada, salam hormat untuk semua aktivis yang sudah ada, yang sedang ada dan mereka yang akan ada.
Adian Napitupulu, SH
Sekjen PENA 98 (Persatuan Nasional Aktivis 98)
Mei 2020
(Boleh di sebarluaskan dan dipublikasikan selama tidak merubah isi dan makna tulisan ini)