Bulan Januari tahun 2021 menuju penghujungnya. Menginjak minggu keempat. Namun, tanda-tanda tumpahan air dari langit sepertinya enggan untuk berhenti. Hujan turun sejak matahari mulai condong ke barat hingga menjelang ia mengintip di ufuk timur. Dalam kondisi seperti ini, tak terbayangkan berapa ton kubik air dari langit yang mencari deposit penyimpanannya di bumi.
Di berbagai belahan bumi, banjir terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Banjir di Kalimantan selatan menjadi headline berita di seluruh media nasional, bahkan internasional. Selain itu banji bandang di kawasan puncak beberapa hari yang lalu ikut menghangatkan berita nasional selepas diguyur hujan lebat. Belum terhitung bencana lain seperti gempa di Mamuju dan Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Tak terlupakan pandemi COVID-19 yang masih merajalela.
Musim hujan bagi petani menjadi berkah tersendiri oleh karena mereka bisa mengairi sawah, dan rerumputan untuk ternak pun kembali hijau. Di daerah saya, Tana Toraja, hujan adalah sumber utama untuk membuat sawah-sawah tadah hujan menajdi produktif kembali. Hujan juga menjadi solusi bagi peternak babi dan kerbau untuk menghijaukan asupan energi bagi ternak-ternak tersebut.
Para peternak babi Toraja saat ini banyak menggantungkan sumber pakan dari wilayah kabuten Enrekang, Sidrap, Pinrang, dan wilayah Luwu. Bahkan putusnya akses jalan di perbatasan Toraja Utara-Kota Palopo tidak menghambat masifnya pergerakan roda empat dari wilayah Luwu untuk memberikan suplai ternak ke Toraja.
Tetapi kondisi hujan yang terus-menerus tiada henti justru bisa berujung petaka. Secara khusus bagi daerah-daerah dengan topografi yang minim lahan hijau, minimnya hutan dan dataran rendah. Longsor dan banjir bandang bisa terjadi tanpa bisa diprediksi.
Yah, musim hujan memberi berkah bagi kami masyarakat pegunungan yang mengandalkan hujan sebagai sarana irigasi. Suasana kekuningan yang terhampar selama ini berangsur hijau kembali.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sehingga sudah menjadi kebiasaan ketika berkunjung ke daerah-daerah tetangga di Toraja, yang menjadi ungkapan pembuka adalah yang terkait dengan hujan. Frase-frase seperti: Uran bang o mo ra ka inde liu? Taek bang pa ra ka na uran iti? Masannang o pa tu tananan te, pirang allo omo te uran; menjadi bahasa yang lebih familiar diucapkan ketimbang pandemi dan isu-isu lainnya. Ini menandakan bahwa hujan adalah kebutuhan.
Secara pribadi hujan juga mempengaruhi kondisi kesehatan. Perubahan cuaaa seringkali menjadi pemicu munculnya penyakit flu dan demam. Seperti yang saya alami dalam 2 minggu terakhir. Puji Tuhan penyakit rutin musim hujan ini tidak terindikasi ke COVID-19. Namun, penyakit ini cukup menghambat mobilitas dalam melaksanakan tugas. Di rumah lebih banyak menghabiskan waktu di balik selimut atau di balik sarung.
Oleh karena kebijakan pemerintah masih menganjurkan untuk melakukan tugas dari rumah, seperti halnya mengajar, walaupun kurang fit, tugas pokok mengajar tetap saya jalankan tepat waktu setiap hari. Saya memiliki 25 jam mengajar setiap minggu yang tidak pernah saya tinggalkan. Melalui pemanfaatan ZOOM, YouTube, Media Sosial dan Blog, materi-materi saya tetap sampai kepada para siswa.
Demikian halnya dengan tugas mendampingi anak untuk belajar dari rumah. Putra saya sekarang ada di kelas 1 SD, saya pun setiap hari banting setir jadi guru SD memandunya setiap malam. Jujur saja, butuh kesabaran ekstra menjadi pendamping murid SD, tidak semudah menjadi fasilitator siswa sekolah menengah atas.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Eh, kok melenceng dari judul ya? Hehehe.... mungkin ini bagian dari berkah musim hujan, pekerjaan tetap jalan dengan normal walaupun tengah mengalami kondisi fisik yang tidak fit. Jadi, walaupun hujan sesekali membawa "bencana", namun tak pernah pula luput memberi makna yang bermanfaat dalam hidup kita.
0 komentar:
Posting Komentar